Esensi Pendidikan Indonesia
“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” — Nelson Mandela.
Pendidikan sering kali menjadi akar permasalahan dari berbagai permasalahan besar lainnya. Seperti permasalahan banjir yang tiap tahun hadir atau pandemi Covid-19 di Indonesia yang tidak kunjung usai. Berbagai upaya dan peraturan telah diberlakukan. Mulai dari pembatasan mobilisasi, karantina wilayah, dll. Akan tetapi, tanpa adanya kesadaran penuh dari masyarakatnya sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut akan sulit diselesaikan. Lalu bagaimana? Pendidikan seharusnya menjadi jawaban dari permasalahan-permasalahan tersebut. Dengan pendidikan yang baik tentu kesadaran masyarakat akan meningkat. Lalu, bagaimana dengan pendidikan di Indonesia?
Sudah 76 tahun sejak Indonesia merdeka, tetapi kualitas pendidikan Indonesia masih segini saja. Angka pendidikan yang masih rendah, persebaran fasilitas pendidikan yang tidak merata, dan bahkan berbagai persepsi akan pendidikan itu sendiri. Bisa dilihat dari hasil tes PISA, Indonesia menduduki urutan ke 70 dari 78 negara. Dengan negara tetangga Singapura menduduki lima besar dunia. Padahal sering kali kita mendengar berita pelajar Indonesia yang berprestasi di kompetisi dunia. Bahkan beberapa di antaranya berasal dari pedalaman Papua. Hal ini membuktikkan potensi negara Indonesia yang begitu besar namun tidak berhasil diasah oleh pendidikannya. Seharusnya ini menjadi tanda tanya besar bagi berbagai elemen pendidikan di Indonesia, baik dari sistem pendidikan, pendidik, dan siswanya.
Ditinjau dari sistem pendidikannya, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Mulai dari pemerataan pendidikan, sarana-prasarana, dan esensi pendidikan itu sendiri. Bisa kita rasakan langsung, persebaran pendidikan di Indonesia belum merata. Dilihat dari akses pendidikan saja, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan di kota besar dengan daerah pinggiran. Di kota besar, sekolah-sekolah tersebar secara merata di seluruh wilayah. Siswa yang hendak bersekolah tinggal naik angkutan umum atau diantar oleh kendaraan orang tuanya. Akan tetapi, di daerah pinggiran, para siswanya perlu berjalan beberapa kilometer atau bahkan melintasi hutan dan sungai hanya untuk bersekolah. Dari sarana-prasarana pun juga terlihat perbedaanya. Terdapat siswa yang melakukan kegiatan belajar-mengajar di dalam ruangan ber-ac dengan segenap alat tulisnya dan diajar oleh guru-guru yang kompeten. Di sisi lain, terdapat sekolah yang berlantaikan tanah, atapnya bolong, dan siswanya harus berbagi buku pelajaran dalam proses belajar-mengajar. Tidak heran, jika beberapa orang tua di daerah pinggiran, memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya.
“The cure for boredom is curiosity. There is no cure for curiosity”
– Dorothy Parker
Esensi dari pendidikan di Indonesia tampaknya belum tersampaikan dengan sempurna. Pendidikan di Indonesia masih berfokus pada pertanyaan “Apa?” bukan “Bagaimana” ataupun “Mengapa?”. Hal ini penulis alami langsung ketika masih bersekolah. Pembelajaran yang ada ditekankan pada proses menghafal, bukan proses pemahaman. Siswa jarang memiliki kesempatan untuk menuangkan ide dan pemahamannya sendiri dalam pembelajaran. Sering kali jawaban siswa disalahkan hanya karena cara penyampaian yang berbeda. Walaupun secara isi dan esensi tetaplah sama. Hal ini tentu bisa menekan sisi kreativitas dan percaya diri siswa. Padahal, pendidikan seharusnya bisa mengembangkan rasa ingin tahu dan percaya diri siswanya. Semakin besar rasa ingin tahunya, proses belajar-mengajar pun akan semakin menarik. Dengan sendirinya, siswa-pun akan mencari jawaban dari rasa ingin tahunya.
“Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.”
– Albert E.
Kutipan yang sering kali kita dengar ketika membahas sistem pendidikan di Indonesia. Semua orang adalah jenius, tetapi jika kamu menilai ikan dari cara memanjatnya, maka ia akan menganggap dirinya bodoh seumur hidup. Sistem pendidikan di Indonesia tampaknya terlalu generalis. Terdapat lima belas mata pelajaran berbeda (untuk SMA) dan setiap siswa dipaksa menghafal lima belas mata pelajaran tersebut. Ironinya adalah ketika siswa dipaksa menghafal lima belas mata pelajaran, guru-guru hanya perlu mengajar satu mata pelajaran saja. Terbayang sudah pola pikir siswa yang akan terbentuk. Ketika sistem pendidikan di negara lain mendorong siswanya untuk bereksplorasi akan kemampuan dirinya. Sistem pendidikan Indonesia memukul rata semua siswanya, seakan memasang sebuah program default pada robot. Tentu ini menjadi tanda, perlu adanya perbaikan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, ditelan secara mentah-mentah oleh sistem pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak? Guru-guru yang seharusnya mencetak generasi penerus bangsa malah mendapatkan kredit yang tidak semestinya. Banyak sekali guru honorer harus bertahan hidup hanya dengan Rp300.000 sebulan atau bahkan kurang dari itu. Padahal guru memegang peran yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Berbeda dengan orang di pemerintahan, seorang guru akan berinteraksi langsung dengan siswanya. Suasana pembelajaran di kelas-pun akan banyak dipengaruhi oleh kondisi gurunya. Guru yang telah terjamin kesehjetaraanya tentu akan lebih fokus dalam mengembangkan minat dan bakat siswanya. Mungkin ini pula yang menjadi alasan, mengapa pendidikan di beberapa sekolah swasta lebih baik daripada sekolah negeri. Seharusnya penafsiran guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa perlu adanya perbaikan. Guru harus diberikan kredit yang sesuai atau bahkan lebih dari seharusnya.
”Teacher open the door, but you must enter by yourself”
– Chinese Proverb
Kutipan di atas mungkin bisa menyadarkan beberapa pembaca. Sistem pendidikan dan pendidik hanya bisa membukakan jalan bagi kita para pelajar Indonesia. Karena pada dasarnya, nasib bangsa ke depannya masih ada di tangan kita. Kita sebagai pelajar Indonesia sudah seharusnya sadar diri. Akan kompetisi yang akan kita hadapi di kemudian hari. Kompetisi nanti tidak akan hanya melawan daerah lain. Kompetisi nanti akan bersifat global dan para pesaing akan berasal dari negara lain. Oleh karena itu, berhentilah menyalahkan sistem yang ada. Sebagai pelajar, kita seharusnya memanfaatkan segala fasilitas dan kesempatan yang telah diberikan. Selain itu, sebagai pelajar, kita juga harus selalu menggali dan mengeksplorasi diri kita sendiri. Karena tanpa adanya sesi eksplorasi diri, kita hanya menjadi robot untuk kebutuhan industri. Walaupun terkadang, sistem pendidikan akan terasa menyulitkan siswanya sendiri.
Pendidikan di Indonesia menjadi inti masalah dan juga jawaban dari berbagai masalah yang ada. Potensi pelajar Indonesia yang begitu besar seharusnya bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Hal ini tentu perlu dimanifestasikan oleh sistem pendidikannya. Namun dalam kenyataanya, pendidikan Indonesia masih menemui banyak kendala. Mulai dari sarana dan prasarana yang belum merata, esensi pendidikan yang belum tersampaikan dengan sempurna, hingga terhambatnya eksplorasi para siswanya. Permasalahan pendidikan Indonesia sangatlah kompleks. Begitu banyak aspek yang harus dibenahi dan banyak elemen yang harus disejahterakan. Ini menjadi permasalahan kita bersama. Sudah seharusnya, kita sebagai masyarkat Indonesia, bersama-sama membangun negeri melalui pendidikan. Karena melalui pendidikan-lah, Indonesia emas bisa diwujudkan.